Oleh: totokpramujito | Mei 31, 2019

DIAKONIA-DIAKONIA GEREJA

Banyak bukti dan fakta bahwa disekitar kita sebenarnya sudah banyak karya yang dapat  dilihat dan dijadikan contoh dalam kehidupan nyata sebagai karya diakonia gereja. Merujuk lintas denominasi gereja kita dapat melihat contoh yang suatu saat dapat menjadi rujukan atau bahan studi banding pengembangan diakonia gereja yang selama ini hampir tidak pernah diadopsi untuk dikembangkan sebagai bidang program praktis oleh gereja-gereja katolik.

  1. Diakonia Pertanian Romo Gregorius Utomo Pr Gereja HKTY Ganjuran. Telah dikembangkan yang secara konsisten telah mengembangkan diakonia pertanian organik melalui LSM STPN HPS (Serikat Tani dan Nelayan Peringatan Hari Pangan Sedunia). Pelayanan beliau ini tidak hanya diitingkat lokal tetapi sudah berkiprah secara nasional, bahkan dalam ranah kebijakan pertanian nasional. Disekitar wilayah Ganjuran sendiri beliau lebih dikenal sebagai ahli pertanian yang sangat mumpuni, tidak sekedar urusan sertifikasi lahan tetapi lebih dari itu mengenai penerapan prinsip dasar pola pertanian organik lebih diutamakan. Gerakan pertanian yang dikembangkan beliau sangat mengisnpirasi pola pertanian dan pola konsumsi hidup sehat oleh banyak orang untuk hidup secara “back to nature”. Begitu pula dalam ranah budaya, karena keberadaan gereja HKTY Ganjuran didaerah basis pertanian maka sampai sekarang gereja juga aktif melakukan ritual tahunan pesta panen yang sekaligus menjadi agenda pemerintah setempat.
  2. Diakonia Pertanian di GKJ Jodhog dan GKJ Sidomulyo. Gerakan pertanian yang dipimpin oleh Bapak Pendeta Harjono, S.Th dan Bpk. Corvinus Wahyu Nugroho, S. Th. Duet dua Pendeta Gereja ini secara langsung mengajak petani disekitarnya untuk mengembangkan pertanian organik. Tidak hanya kotbah di gereja, beliau juga aktif melakukan kotbah pertanian organik di sawah bersama para petani. Tidak selesai disitu saja, bahkan beliau juga menampung semua hasil pertanian organik untuk dipasarkan sebagai salah satu kegiatan pelayanan gereja.
  3. Diakonia Disaster Mitra Kasih Pdt. Lukas Eko Sukoco, M.Th GKJ Purworejo mengajak lebih dekat pada realitas sosial ”menjadi sahabat bagi sesama, berlandaskan kasih agape”.  Bermula saat bencana alam tanah longsor, ratusan rumah roboh dan rusak, juga jiwa manusia menjadi korban keganasan alam. Tercatat lebih dari 79 orang meninggal dunia. Daerah yang paling parah adalah wilayah Kemanukan, Pacekelan, dan Hulosobo. Akibatnya, daerah-daerah miskin yang secara bersamaan muncul endemik malaria itu menjadi hidupnya semakin sengsara. Korban yang perlu ditolong kebanyakan adalah wanita dan anak-anak. Menanggapi hal itu kelompok kerja Diakonia GKJ Purworejo hadir. Minggu dinihari bencana datang, maka Senin pagi sudah berada di lapangan untuk memberikan bantuan sesuai kemampuan: menyusuri dan mencari korban, memberikan bahan makanan, dan membantu di bidang kesehatan. Akhirnya spektrum pelayanan diperluas  khususnya warga gereja untuk aktif ambil bagian dalam pelayanan masyarakat umum melalui YDM ”Mitra Kasih”. Keterlibatan warga gereja itu meliputi: kesediaan menjadi relawan, dan dukungan materi ataupun uang. Mencari rekan pelayanan yang bisa diajak ambil bagian dalam pelayanan YDM Mitra Kasih. Di tengah tuntutan karya pelayanan yang semakin berat, sementara kemampuan diri amat terbatas, ternyata Tuhan mempertemukan relawan CWS (Church World Service) cabang Indonesia, yang berkedudukan pusatnya di New York Amerika Serikat. Bahkan terakhir GKJ Purworejo memiliki rumah diakonia yang sanggup untuk bekerjasama dalam pengembangan diakonia masyarakat.
  4. Diakonia Air Romo Vincentius Jumakir Kirjito, dari Pastoran Muntilan. Siapa tidak mengenal Romo Kirjito, sapaan akrabnya, beliau selalu terdepan dalam mengkritisi karusakan alam di kawasan Gunung Merapi dan rutin meneliti beragam air dari air hujan sampai kemasan. Beliau berhasil menghentikan kerusakan lingkungan terutama kerusakan terhadap sumber air dari penambangan pasir di kawasan Merapi. Beliau mengatakan parokinya dijadikan sebagai laboratorium untuk mempelajari alam, budaya dan kesenian. Lebih dari 8.000 orang telah mendapat pelajaran berharga dari program yang dijalankan Romo Kirjito, baik orang Indonesia maupun dari mancanegara seperti dari Australia, Hong Kong, India, Korea Selatan, Belanda, AS, Jerman dan Polandia. Pelayanan Romo yang satu ini diakui oleh masyarakat setempat bagaimana mensikapi kehidupan sehingga banyak membawa manfaat dan menyadarkan arti hidup bersama alam. Diakonia air dikembangkan dalam hidup dan juga dalam budaya sehingga setiap tahun diperingati dengan hari air yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dari lintas agama juga turut mengambil bagian dalam budaya ini.
  5. Diakonia Perkotaan Romo Mangunwijaya Pr. Peristilahan perkotaan disini maksudnya bahwa diakonia yang telah dilakukan beliau tersita pada permasalahan perkotaan walaupun juga masih ada konsentrasi didesa juga, namun secara umum memuat sarat makna akan permasalahan kompleksitas masalah perkotaan didalamnya. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik. Selain aktif menjadi rohaniawan, beliau juga dikenal sebagai penulis, budayawan, arsitek, dan aktivis pembela kaum kecil. Dalam bidang sastra, dia banyak menelurkan karya-karys essai dan novel. Salah satu novelnya yang terkenal adalah ‘Burung-Burung Manyar’. Bahkan berkat keseriusannya buku ‘Buku Sastra dan Religiositas’ yang ditulisnya mendapatkan penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982. Dalam bidang arsitektur, dia dinobatkan sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Penghargaan Aga Khan Award pernah diterimanya sebagai apresiasi tertinggi atas karya arsitektural rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Sementara ’teriakannya’ untuk orang miskin, dia suarakan melalui pendidikan. Dia membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar /DED dan membangun SD bagi anak-anak korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Sekilas meninggalkan kesan termanis akan karya beliau terutama dalam mengentaskan warga miskin dan kumuh menjadi warga yang sejajar dengan warga masyarakat lainnya. Begitu banyak dinamika dalam gereja dan diluar gereja. Banyak resistensi dan juga harapan yang begitu besar dari dalam gereja namun disisi lain hal inilah yang perlu disikapi bersama bahwa gereja juga memang memiliki banyak aturan pelayanan, namun sebaiknya gereja mestinya berbenah dan mau membuka diri itulah yang sebenarnya dinantikan beliau dan banyak orang.
  6. Diakonia Pendidikan Franz Magnis-Suseno.  Beliau seorang rohaniawan Katolik dari Ordo Serikat Yesus (SJ). Pria 75 tahun ini datang ke Indonesia pada tahun 1961, selepas menyelesaikan S2 filsafat di Hochschule fur Philosophie di Pullach, Jerman.Saat ini beliau masih menjabat sebagai direktur program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Buah karya pemikirannya diabadikan dalam buku ‘Etika Politik’, referensi mahasiwa. Bukunya ilmu politik dan filsafat di Indonesia. Romo Magnis sangat concern alias peduli pada budaya Jawa. Banyak karya tulis yang telah dituliskannya seperti ‘Etika Jawa’ ditulisnya setelah ia selesai menjalankan tahun sabbat di Paroki Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia menulis sekitar 25 buku di bidang filsafat, etika, dan pandangan hidup orang Jawa. Pada tahun 2002, dia menerima gelar Doctor Honoris Causae dalam teologi dari Universitas Luzern di Swiss. Sampai sekarang pandangan beliau terhadap dunia pendidikan di Indonesia masih sangat tajam.
  7. Diakonia Budaya Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J. atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata. Pria kelahiran Kota Batu, Jawa Timur 12 Mei 1952 adalah seorang imam Katolik yang memiliki dedikasi tinggi untuk umat. Termasuk anggota Yesuit, readkstur majalah kebudayaan “BASIS”. Perjalanan karirnya berawal sebagai wartawan Harian Kompas, cenderung menulis tentang sepak bola, dan masalah kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai penulis. Novelnya yang terkenal adalah “Anak Bajang Menggiring Angin” tahun 1983, yang diterbitkan oleh Gramedia.

selain paparan diatas sebenarnya masih banyak celah yang dapat menjadi perhatian gereja-gereja dan bukan hanya tergantung pada personality saja tetapi juga dapat menggerakkan energi besar yang dimiliki oleh seluruh jemaatnya.

Yogyakarta, 31 Mei 2019

Oleh: totokpramujito | Januari 25, 2012

Hakekat Gereja Yang Melayani

Hakekat Peran Gereja Adalah Melayani

Paradigma mengenai peran gereja di Indonesia masih perlu penegasan ulang, karena masih dipersepsikan dengan kebenaran tunggal, padahal kita hidup dalam pluralitas di Indonesia. Secara umum umat katholik di wilayah ini memang masih berhenti pada justifikasi atau berhenti pada hermenetika yang kaku bahwa urusan iman berbeda dengan urusan kepedulian sosial yang berkelanjutan. Untuk itulah maka perlu dibangun paradigma baru mengenai arah dan tujuan pelayanan gereja sebagai penegasan dari Tri Tugas Gereja yaitu Marturia, Kononia, dan Diakonia dalam gereja Kristen sedangkan dalam gereja katolik ada Lima yaitu liturgia, kerygma, koinonia, diakonia dan marturia.

  1. Tugas pelayanan doa dengan pengembangan komposisi jemaat dengan prodiakon, lektor, misdinar, dst
  2. Tugas pelayanan pewartaan katakese melalui baptisan, pendalaman iman, persiapan pra-nikah, dst
  3. Tugas pelayanan kegiatan persekutuan atau paguyuban ditingkat lingkungan, Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai.
  4. Tugas pelayanan program diakonia pastoral sosial melalui kunjungan pastoral/ konseling/ kesaksian dan pelayanan terhadap jemaat khususnya bagi mereka yang lemah, miskin dan tertindas atau sedang dirundung masalah didalam dan diluar gereja
  5. Tugas pelayanan ini dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik kita menemukan  banyak orang telah merelakan hidupnya untuk mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian hidup Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Interelasional antar kelompok kerja didalam dan diluar gereja sebagai bentuk pengembangan hidup oikumene

Walaupun sudah banyak contoh kaum pekerja gereja  lokal yang sangat dikagumi seperti halnya Romo Mangunwijaya maupun seribu kisah para santa dan santo yang lainnya, rasanya tidak cukup berhenti pada cerita indah berbagai kisah pelayanan sosial mereka.Hermenetika menjadi bagian penting dalam memahami dan mempersepsikan keseimbangan pelayanan mimbardan pelayanan sosial terkadang menjadi tidak seimbang lagi (walaupun disadari seharusnya ada keseimbangan tiga tugas gereja itu).

Untukmembawa pada perubahan ini harus melalui berbagai kendala terutama faktor pemahaman generasi lama maupun pemahaman generasi muda yang belum memahami bagaimana peran gereja yang seharusnya. Paling tidak inilah setitik embun yang coba dikembangkan dilingkungan St Yohanes Puspaprima, bahwa esensi kepedulian sosial itu relatif, artinya tidak sekedar pelayanan yang charity saja tetapi ada pelayanan yang berkelanjutan baik kepada mereka yang dilayani maupun bagi mereka yangingin melayani secara berkelanjutan sebagai suatu panggilan moral.

Kepedulian itu sebaiknya diberikan kepada mereka yang termasuk tidak beruntung dalam keadaan : miskin, sakit-sakitan, tertindas, lemah oleh berbagai sebab, dst. Bila dikembangkan lebih luas dapat dinyatakan bagi mereka yang kesulitan pendidikan,kesulitan perekonomian, kesulitan akan hilangnya hak hidup yang tidak diakui dilingkungannya, dst yang sebenarnya hal ini banyak tersebar disekitar komunitas gereja ini ada.

Keprihatinan Bersama

Agar Gereja sungguh berperan untuk mewujudkan harapan tersebut, maka sebaiknya gereja membangun gereja yang dinamis yang selalu berubah, dari aliran ortodhoksi perlu diubah kearah ortopraxis, melalui empathy, simpaty, kepedulian sosial dan moralitas akan nilai-nilai kemanusiaan. Selama ini kita sudah berusaha untuk tidak mempraktekan theologi “kemakmuran” bahwa semua jemaatnya dianggap makmur namun kita butuh pemahaman theologi “pembebasan” yang melihat keseimbangan pelayanan akan Tugas Gereja menjadi lebih penting artinya untuk diwujud nyatakan. Kepedulian sosial akan semakin meneguhkan sebagai gereja “ketimuran” yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan, budaya dan hubungan sosial yang sangat mengagumkan. Namun kerap kali pula kita terseret oleh  paham pragmatisme juga. Memang mengubah keadaan tersebut secara normatif merupakan keharusan. Kita telah membangun kerjasama tersebut untuk bisa bekerjasama dengan berbagai komunitas yang saling dapat dikaitkan.

Momentum Natal dan Paskah setiap tahun memang menjadi moment yang sangat ditunggu-tunggu. Bila melihat konteks pemahaman pelayanan  sosial maka Tradisi memberi “Angpao” bagi komunitas yang kita layani perlu dirubah dengan memberikan “kail/jala”.

Momentum Natal 2011 kali ini kita mencoba hal tersebut dengan desain kegiatan yang melibatkan seluruh jemaat, tidak boros dan menyisakan sebagian anggaran untuk kepedulian sosial. Kita berharap mereka yang akan kita layani ini akan mendorong spirit baru, mendorong minat untuk rela berkorban, meresapi suka cita sekaligus meresapi makna dari “Salib” yang menjadi tanda kemenangan itu. Untuk itulah keberadaan gereja di tengah masyarakat harus berdampak, menjadi garam dan terang dunia. Apakah gereja sudah menjalankan peran tersebut dalam masyarakat ?

Bagaimanapun kondisi kita patut kita syukuri, bila dibandingkan dengan gerakan gereja mula-mula. Saat itu gereja terus menerus mendapat penganiayaan. Namun gereja bangkit karena gereja memiliki fungsi sebagai saluran berkat, sehingga simpati dan kepedulian sosial ini menjadi suatu gerakan iman. Dengan tindakan dan perbuatan umat kala itu, mereka pun semakin disukai masyarakat. Secara otomatis, Tuhan pun akan semakin menambahkan jumlah mereka.

Gereja hendaknya bisa menjadi berkat bagi lingkungan di sekitarnya. Namun, kenyataannya, jauh panggang dari api. Kehadiran gereja justru dianggap sebuah ancaman bagi kelompok masyarakat tertentu. Situasi seperti ini jelas rentan konflik. Lalu bagaimana gereja menjadi berkat bagi bangsa ? Sebaiknya memang gereja menyatu dengan lingkungannya dalam arti tidak atau jangan memisahkan diri dengan alasan pembenaran apapun, karena kehadiran gereja bukan dimaknai hadirnya bangunan megah atau komunitas yang tertutup tetapi gereja yang terbuka bagi siapa saja. Dengan demikian maka gereja juga harus menjalankan misi kemanusiaan. Artinya, gereja harus punya kepedulian sosial. “Ketika ia hadir untuk kemanusiaan, itu menunjukaan gereja yang hidup. Gereja hendaknya ada sebagai bagian dari komunitas bangsa ini, karena secara langsung atau tidak gereja ikut menentukan arah bangsa. Di sini gereja harus benar-benar berubah dan mentranformasi diri, menata dan menempatkan kembali seperti tugas gereja mula-mula. Gereja jangan memprioritaskan pelayanan internal jemaatnya semata, tetapi itu gereja harus berani lebih terbuka menyatakan kehadirannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan habitusnya.

Apakah gereja memiliki kepedulian bilamana dalam keadaan minus? Nah, hal inilah yang perlu dihindari sebaiknya gereja tidak perlu menunggu ada bencana baru tanggap, dengan demikian maka peran dan fungsi gereja itu sebaiknya dijalankan setiap waktu, kapan saja, dimana saja ada yang membutuhkan. Makna atau hakekat bergereja adalah dimaknai hadirnya gereja bagi mereka ditengah-tengah masyarakat yang membutuhkan kepedulian atas dasar nilai-nilai sosial kemanusiaan.

Oleh: totokpramujito | Februari 11, 2009

Background

Pelayanan sosial dipahami sebagai bagian dari karya pelayanan Tuhan yang paling imani, artinya pelayanan sosial adalah hal yang paling hakiki bentuk aktualisasi maksud dari ajaran Tuhan untuk mengasihi sesama manusia. Makna dalam pelayanan itu sendiri sebenarnya membawa misi nilai kemanusiaan dan nilai ke-Ilahi-an. Pokok Tri-Tugas gereja telah mengantarkan kita kepada konteks fakta permasalahan dunia yang akan bersangkut paut dengan peran dan posisi ketiga bagian tersebut untuk bersinergi dalam arti luas.

Masih ingat dalam ingatan akan Romo Mangunwijaya dengan karya pelayanan pastoral sosial yang salah satunya dikembangkan untuk komunitas warga pinggiran sungai code di Yogyakarta. Pada saat awalnya karya pelayanan Romo Mangunwijaya diera tahun 2000-an ibarat roh yang banyak memberi inspirasi karya pastoral di Indonesia tidak peduli pastor, bruder, suster, pendeta, mahasiswa theologia serta orang berjilbab, berpeci maupun awam sipil biasa, namun warisan semangat itu tidak lagi terlihat melihat lagi, entah mungkin muncul dalam versi lain yang tentu sangat dinantikan kehadirannya bagi kaum pinggiran.

Sebenarnya kita sadar bahwa setiap saat warga pinggiran itu menggapai-gapai butuh pertolongan dan mengharapkan untuk kita jamah, sesekali mereka menghibur namun banyak diantara mereka menangis terhimpit oleh krisis yang tidak tahu darimana asalnya. Pada akhirnya kita mengulurkan tangan untuk melayani mereka yang sangat lemah, lelah dan tidak berdaya itu. Ditengah kekumuhan dan bau itu sebenarnya ada permata hati ketulusan dalam melayani mereka diarus duniawi yang kuat walaupun sekedar berbagi, rasanya berat untuk mewarisi tugas pelayanan sosial tersebut karena apa yang dapat kita perbuat dimana secara kelembagaan biduk sudah berbalik arah kearah gelombang yang tenang dan tidak mungkin lagi kembali ke-arus itu, padahal dipusaran itulah sudah menelurkan sekian sarjana termasuk doktor.

Setelah kita renungkan sejenak, kami ajak masuk dalam ranah pemberdayaan sosial dengan seribu konsuekuensi tentunya. Secara umum komunitas layanan sebenarnya perlu dilihat berada dalam tahap mana mampu memenuhi syarat sosial sebagai bagian dari infrastruktur sosial, struktur kepengurusan, administrasi, aturan hak dan kewajiban warga kita pikir cukup.  Hanya saja untuk pemberdayaan ekonomi warga komunitas miskin di seputaran pinggir kali code mereka masih butuh pengharapan besar selanjutnya apa yang dapat kita lakukan. Seandainya maju sendiri pada akhirnya tentu akan konyol juga sehingga mau tidak mau perlu sedikit kerjasama dengan berbagai pihak tentu dalam batasan hubungan profesional (tidak ada kata coba-coba dan main-main). Sejarah menunjukkan kegagalan seperti kata Romo Mangunwijaya yang sangat puitis mengatakan memang karakter mereka bengkok-bengkok dan sudah karatan kalau diluruskan maka akan patah sia-sia yang dapat diselamatkan adalag generasi muda atau generasi berikutnya. Rentenir saja bisa bertahan mengapa kita tidak, kita tidak dapat menjawab kesulitan itu namun pasti ada jalan pemecahannya. Kemudian kita berfikir memang orang baik dan tulus biasanya dipersepsikan semua yang kita pinjamkan tidak ada bedanya dengan kata diberikan. Oleh karena itu kita meminjam tangan lain yaitu lembaga keuangan resmi dimana pola pergerakan mereka mirip dengan rentenir namun dibaliknya adalah kita ingin mengajari tentang n ilai tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian dan kita menjaminkan harapan itu untuk mengentaskan mereka. Disini orientasi pelayanan berubah dari charity menjadi empowerment, didepan mata sendiri kita menyaksikan kita dan Romo Mangunwijaya sudah berapa puluhkali ditipu oleh warga binaannya sendiri, bahkan melalui pendekatan komunitas dalam menyalurkan dana lewat koperasi mereka sekalipun juga tidak luput untuk disikat habis ……… Nah begitulah karakter asli warga pinggiran. Dalam pengentasan kemiskinan diwilayah binaan perkotaan kita sangat terinspirasi dengan rentenir dalam mengembangkan usaha kredit,  ruang akses PHBK Bank Indonesia ternyata plafon kreditnya masih diatas kemampuan minimal tingkat penyerapan dananya, untuk itu direkomendasikan bermitra dengan lembaga keuangan BPR. Pada akhirnya kita menemukan pola kredit harian melalui BPR Bhakti Daya Pakem (Bank Perkreditan Rakyat). Disini kita pernah berhasil menjadi emiten (penjamin kredit perbank-an) yang mendorong warga pinggiran dari kelas tukang menjadi majikan pada time-ing yang tepat pada saat puncak krisis ekonomi pasca reformasi dimana warga yang berjualan ban mobil mendapat kesempatan emas itu dapat berkembang sampai sekarang. Rasanya peluang untuk keberhasilan itu akan terulang lagi seiring dengan krisis global yang terus berkepanjangan sampai akhir 2009 ini.  Kita berinstrospeksi rasanya pernah dan berhasil menjadi emiten yang baik dalam mendampingi warga PKL di badran, PKL Asongan dan Komunitas  warga gereja kristen  di kawasan Condongcatur sampai tingkat penyerapan kredit-nya menyentuh 100 juta per-tahun. Namun kemudian berhenti teratur karena siklus kepengurusan Majelis Gereja harus berganti orang, berganti kebijakan sampai akhirnya berhenti………ti seiring dengan berubhnya issue permasalahan ditingkat lokalan. Kita masih melihat sejuta potensi dari warga binaan di perkotaan, sehingga kita tidak bisa bekerja sendirian – karena bagaimanapun mesti harus ada partner pelayanan yang saling menunjang target keberhasilan. Ditengah gerakan kerjasama dengan lembaga keuangan disisi lain kita juga berharap ada kemitraan untuk pelayanan sosial yang terpanggil untuk melayani mereka yang tersisih, tidak berdaya dan butuh uluran kasih dalam hal ini terlebih bagi para suster, bruder maupun pendeta atau siapa saja yang memiliki kepedulian pada pemulihan nilai-nilai kemanusiaan. Paling tidak pelayanan dapat dilakukan dalam bidang ekonomi maupun pastoral sosial. Kita mengharapkan mitra dari institusi sebagai partner yang profesional dan syukur-syukur  membawa bantuan yang dapat menunjang pengembangan nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh: totokpramujito | Juli 18, 2008

FOTO

Kategori